Wednesday, September 10, 2025

Guru Bukan Beban, Melainkan Pilar Peradaban

Guru: Aset atau Beban Negara?

Beberapa waktu terakhir, istilah “Guru Beban Negara” kerap terdengar di ruang publik. Ada yang menyebutnya dalam obrolan santai, ada pula yang melemparkan istilah ini di media sosial. Tentu saja, bagi para pendidik, sebutan ini terasa menyakitkan. Bagaimana mungkin profesi yang seharusnya dimuliakan justru dilabeli sebagai beban? Namun pertanyaannya, benarkah guru adalah beban negara? Atau justru aset terbesar bangsa?

Guru sebagai Investasi Bangsa

Mari kita lihat dari sisi sederhana. Setiap rupiah yang dialokasikan negara untuk gaji, tunjangan, dan pelatihan guru bukanlah pemborosan. Itu adalah investasi jangka panjang. Tidak ada negara maju tanpa pendidikan yang kuat. Dan tidak ada pendidikan yang kuat tanpa guru.

Cita-cita Indonesia Emas 2045 tidak mungkin tercapai hanya dengan infrastruktur megah atau teknologi canggih. Semua itu akan sia-sia jika generasi penerus tidak memiliki pengetahuan, karakter, dan keterampilan yang dibangun dari ruang-ruang kelas di sekolah. Di sanalah guru berperan, setiap hari, meski sering tanpa sorotan kamera.

Dari Mana Stigma “Beban Negara” Berasal?

Kita tidak bisa menutup mata, memang ada sebagian kecil guru yang terjebak rutinitas, kurang disiplin, atau hanya berorientasi pada tunjangan sertifikasi. Potret inilah yang seringkali diperbesar dan digeneralisasi oleh masyarakat. Satu dua kasus seolah-olah mencerminkan wajah semua guru.

Sayangnya, masyarakat jarang melihat sisi lain: guru-guru yang rela mengorbankan waktu istirahatnya demi mempersiapkan materi, guru yang harus membeli alat tulis dari kantong pribadi, atau guru yang meski kesehatannya terganggu tetap datang ke sekolah demi siswanya.

Guru di Garis Terdepan

Mari bayangkan sejenak: seorang guru di pelosok Kalimantan harus menyeberangi sungai setiap hari dengan perahu kecil agar bisa sampai ke sekolah. Ada guru di Papua yang berjalan kaki berjam-jam, mendaki dan menuruni bukit hanya untuk bisa mengajar di kelas berdinding papan. Ada pula guru di daerah konflik yang tetap mengajar di tengah ancaman rasa takut.

Apakah layak mereka disebut “beban”? Bukankah justru merekalah yang menjaga agar api pendidikan tidak padam, meski negara belum sepenuhnya hadir dalam bentuk fasilitas yang layak?
Mengubah Paradigma

Sudah saatnya kita mengubah paradigma. Guru bukanlah beban, melainkan aset bangsa. Negara harus melihat profesi guru bukan sekadar pos anggaran, tetapi sebagai motor peradaban. Itu artinya, peningkatan kesejahteraan, pelatihan berkelanjutan, dan penghargaan sosial harus diberikan secara serius.

Di sisi lain, guru pun perlu menjawab kepercayaan itu. Profesionalisme, kreativitas, dan komitmen harus terus ditumbuhkan. Guru harus hadir bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai inspirator, motivator, bahkan fasilitator bagi murid-muridnya.

Guru Bukan Beban, Melainkan Pilar Peradaban

Guru bukanlah beban negara. Mereka adalah fondasi masa depan bangsa. Tanpa guru, kita semua hanyalah potongan-potongan cerita tanpa arah. Maka, alih-alih melabeli guru dengan stigma negatif, mari kita bersama-sama mendukung mereka.

Namun di sinilah menariknya: bagaimana menurut Anda?
Apakah istilah “Guru Beban Negara” masih relevan diucapkan? Ataukah kita justru perlu memikirkan cara baru untuk menghargai guru? Silakan bagikan pendapat Anda di kolom komentar.

0 komentar: