Secara fundamental, peraturan ini bertujuan menciptakan ekosistem pendidikan yang bersih, sehat, dan bebas asap, melindungi seluruh warga sekolah—mulai dari Kepala Sekolah, Guru, Tenaga Kependidikan, hingga Peserta Didik dan Pihak Lain—dari paparan tembakau.
Larangan Utama: Seluruh sasaran KTR dilarang keras merokok, memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan rokok di lingkungan sekolah.
Kewajiban Lembaga: Sekolah wajib memasukkan larangan rokok dalam tata tertib, melarang penjualan rokok, serta melarang keras pemasangan iklan rokok.
Penindakan: Kepala Sekolah diwajibkan menegur dan mengambil tindakan terhadap pelanggar, serta melakukan pembinaan kepada peserta didik yang merokok.
Peraturan ini jelas: Sekolah adalah area mutlak anti-rokok, dan pelanggaran harus ditindaklanjuti.
Kepala sekolah dalam kasus ini berada di bawah tekanan besar untuk menegakkan mandat Permendikbud demi melindungi ratusan siswa lain dari bahaya asap rokok dan menjaga integritas aturan. Tindakan "lepas kontrol" tersebut, meski salah, seringkali menjadi simbol dari akumulasi rasa frustrasi dan kelelahan emosional (emotional fatigue) pendidik yang berjuang:
Menjaga Integritas Sekolah: Sekolah telah berulang kali memberlakukan aturan, namun siswa berulang kali melanggar.
Menghadapi Kebohongan: Guru merasa tidak dihargai ketika siswa berbohong dan mengelak saat ditegur, yang seringkali memicu emosi.
Kekurangan Dukungan: Pendidik merasa sendirian dalam menghadapi masalah perilaku siswa yang kompleks, seringkali tanpa intervensi yang kuat dari pihak keluarga.
Maka, semestinya kasus ini tidak hanya fokus pada sanksi bagi guru, tetapi juga pada pemberian dukungan psikologis dan pelatihan manajemen konflik yang memadai. Guru harus didukung untuk menjadi penegak aturan yang tegas, namun tetap profesional dan menggunakan metode disiplin positif. Masyarakat dan pemerintah perlu mengakui bahwa guru adalah manusia yang rentan terhadap tekanan dan memerlukan sistem pendukung yang kuat, alih-alih hanya dipersalahkan atas luapan emosi sesaat setelah kegagalan pembinaan berulang.
Kasus disiplin seperti merokok di sekolah tidak akan tuntas hanya dengan sanksi dari pihak sekolah. Keberhasilan KTR dan pembinaan karakter siswa sangat bergantung pada kemitraan yang solid dan bertanggung jawab dari orang tua.
Ironisnya, dalam kasus tersebut, orang tua merespons dengan melaporkan kepala sekolah ke polisi. Tindakan ini, meskipun merupakan hak hukum, justru menunjukkan pergeseran tanggung jawab yang berbahaya dan berpotensi merusak iklim pendidikan:
Kegagalan di Rumah: Merokok adalah perilaku yang umumnya dimulai di luar gerbang sekolah. Orang tua memiliki tanggung jawab utama untuk mengawasi dan memberikan edukasi bahaya rokok di rumah. Jika anak ketahuan merokok di sekolah, itu adalah indikasi awal bahwa pembinaan di rumah telah gagal atau kurang efektif.
Mendukung Ketegasan Sekolah: Seharusnya, orang tua menjadi mitra sekolah dalam menegakkan Permendikbud. Respons yang ideal adalah mendatangi sekolah, mengucapkan terima kasih atas ketegasan guru, dan bekerja sama dengan Guru Bimbingan Konseling (BK) untuk mencari akar masalah perilaku anak.
Bukan Perlindungan Buta: Melaporkan pendidik atas sanksi disiplin (meski berupa tamparan) tanpa terlebih dahulu melakukan mediasi dan introspeksi, mengirimkan pesan yang salah kepada anak: bahwa aturan boleh dilanggar, dan bahwa konsekuensi bisa dihindari dengan menuntut pihak berwenang. Hal ini melemahkan wibawa sekolah.
Orang tua harus mengubah paradigma dari "pelindung buta" menjadi "mitra pendidik." Mereka harus memfasilitasi Disiplin Positif di rumah, memastikan anak memahami nilai-nilai larangan rokok, dan siap berkolaborasi dengan sekolah dalam pembinaan yang konsisten. Tanpa peran aktif orang tua, Permendikbud KTR akan selamanya menjadi aturan yang rentan dan sulit ditegakkan.
Solusinya terletak pada pergeseran paradigma, dari disiplin berbasis hukuman fisik menjadi Disiplin Positif dan Pembinaan Karakter, didukung oleh kolaborasi orang tua. Pendekatan ini selaras dengan mandat Permendikbud yang menekankan "pembinaan."
Untuk mencegah terulangnya konflik:
Perumusan Ulang Disiplin: Sekolah wajib mencari akar masalah perilaku siswa dan menggunakan sistem poin pelanggaran yang jelas, terukur, dan mengutamakan pembinaan, konseling, dan kesepakatan bersama (Disiplin Positif).
Pelatihan Wajib Guru: Guru harus diwajibkan mengikuti pelatihan intensif mengenai Pengelolaan Emosi Dewasa dan Teknik Mediasi/Resolusi Konflik.
Transparansi dan Konsistensi: Pemerintah perlu menetapkan standar sanksi yang konsisten bagi pendidik yang melakukan kekerasan demi menjamin kepastian hukum, sekaligus memberikan dukungan penuh bagi guru yang berdedikasi menegakkan aturan.
Permendikbud 64/2015 adalah fondasi kuat. Namun, penegakannya harus fleksibel, terukur, dan bermartabat, didukung oleh guru yang terlatih dan orang tua yang bertanggung jawab. Hanya dengan sinergi ini, sekolah dapat menjadi kawasan bebas rokok yang sesungguhnya.
0 komentar:
Post a Comment